SUGGESTOPEDIA
SUGGESTOPEDIA:
PENDEKATAN
PENGAJARAN BAHASA KEDUA
YANG
BERSIFAT HUMANISTIK
II. PEMBAHASAN
A.
Belajar Bahasa Kedua
Yang
dimaksud dengan bahasa kedua adalah bahasa yang tidak diperoleh seseorang secara
wajar dari kecil (M.F. Baradja, 1990:21). Pemerolehan bahasa kedua diartikan
dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan atau bahasa kedua lainnya (Henry
Guntur Tarigan, 1988:125). Seperti yang telah dikemukakan di depan, bahasa
kedua yang paling utama yang diajarkan di sekolah di Indonesia adalah bahasa
Inggris.
Belajar
bahasa kedua (bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Mandarin, dan
sebagainya) pada umumnya dilakukan secara formal, yaitu di kelas bersama
seorang guru dengan menggunakan buku teks tertentu. Menurut Henry Guntur
Tarigan (1988: 125-126), terdapat tiga faktor mendasar dalam proses belajar
bahasa kedua, yaitu belajar bahasa adalah orang, belajar bahasa adalah
orang-orang dalam interaksi dinamis, dan belajar bahasa adalah orang-orang
dalam responsi.
Hakikat
belajar bahasa kedua tidak sama dengan belajar bahasa pertama. Belajar bahasa
pertama berangkat dari “nol” (pembelajar belum menguasai bahasa apa pun) dan
perkembangan pemerolehan bahasa ini berjalan seiring dengan perkembangan fisik
dan psikisnya. Proses belajar bahasa kedua, si pembelajar sudah menguasai
bahasa pertama dengan baik dan perkembangan pemerolehan bahasa kedua tidak
seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Pemerolehan bahasa pertama
dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi karena pembelajar
sangat memerlukan bahasa pertama ini untuk berkomunikasi dengan orang-orang
yang ada di sekitarnya, sedangkan pemerolehan bahasa kedua dikerjakan secara
formal dengan motivasi yang tidak terlalu tinggi.
Dalam proses
belajar bahasa kedua, terdapat satu teori yang banyak dipakai sebagai acuan
oleh para pengajar bahasa, yaitu teori Bialystok. Menurut Bialystok, dalam
belajar bahasa kedua terdapat tiga macam ilmu pengetahuan (knowledge)
yang bahu membahu dalam proses belajar bahasa kedua, yaitu Input, Knowledge,
dan Output. Pembelajar jika ingin berhasil dalam belajar bahasa
kedua harus memiliki pengalaman (language exposure) dan ini disebut Input.
Kemudian, segala macam informasi dan pengalaman yang diperoleh si pembelajar
harus disimpan di suatu tempat yang disebut Knowledge. Dan akhirnya sampailah pada Output, yaitu
kemampuan untuk memahami dan mengutarakan isi hati (M.F. Baradja, 1990: 23-24;
Bialystok, 1980: 46).
Pengalaman
kebahasaan secara formal, misalnya belajar bahasa Inggris di kelas, membaca
buku teks bahasa Inggris, dan sebagainya, akan memperkaya isi sel yang disebut Implicit
Linguistic Knowledge. Pengalaman kebahasaan yang bersifat informal seperti
mendengarkan TV, membaca novel bahasa Inggris, berkomunikasi dalam bahasa
Inggris, akan memperkaya isi sel sel yang disebut Explicit Linguistic
Knowledge. Pengalaman dalam belajar ilmu yang bermacam-macam (geografi,
fisika, kedokteran, dan sebagainya) akan memperkaya isi sel yang disebut Other
Knowledge. Tiga macam sel ini akan bahu membahu mempermudah pembelajar
dalam belajar bahasa kedua.
B.
Suggestopedia
1. Sejarah
Perkembangan dan Prinsip-prinsip Dasarnya
Metode ini
dirintis pada musim panas tahun 1975 di Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut
Penelitian Pedagogy di bawah Georgi Lozanow melakukan penelitian mengenai
pengajaran bahasa asing. Pada awal perkembangannya, suggestopedia hanya dicoba
di negara-negara Eropa Timur seperti Uni Soviet, Jerman Timur, dan Hongaria
(Soenjono Dardjowidjojo, 1996:62).
Sebagai
seorang dokter, psikoterapis, dan ahli fisika, Lozanov percaya bahwa
teknik-teknik releksasi (persantaian) dan konsentrasi akan menolong para
pembelajar membuka sumber-sumber bawah sadar mereka dan memperoleh serta
menguasai jumlah kosa kata yang lebih banyak dan juga struktur-struktur yang
lebih mantap daripada yang mungkin pernah mereka pikirkan (Richards dan
Rodgers, 1993:142-143). Menurut Lozanow, sebagai landasan yang paling dasar
suggestopedia adalah suggestology, yakni suatu konsep yang menyuguhkan
suatu pandangan bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan
memberikannya sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan
terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah
diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama (Soenjono
Dardjowidjojo, 1996:63).
Ciri-ciri
metode ini mencakup suasana sugestif di tempat penerapannya, dengan cahaya yang
lemah lembut, musik yang sayup-sayup, dekorasi ruangan yang ceria, tempat duduk
yang menyenangkan, dan teknik-teknik dramatik yang dipergunakan oleh guru dalam
penyajian bahan pembelajaran. Semua itu secara total bertujuan membuat para
pembelajar santai, yang memungkinkan mereka membuka hati untuk belajar bahasa
dalam suatu model yang tidak menekan atau membebani para siswa. (Richards dan
Rodgers, 1993:142).
Dalam
pengajaran bahasa, suasana tenang yang dibutuhkan dicapai dengan berbagai cara,
salah satu di antarnya adalah yoga. Pada saat sebelum siswa mulai pelajaran,
siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun
kemampuan yang hipermnestik, yaitu suatu kemampuan supermemory yang luar
biasa. Di samping perlunya menggali hipermnesia ini, diperlukan pula atmosfer
fisik yang mendukung proses belajar mengajar. Atmosfer ini diciptakan dengan pemilihan ruangan yang kondusif untuk
proses pembelajaran. Seperti yang telah disinggung di depan, ruang kelas ini
dilengkapi dengan kursi yang enak diduduki dan diatur agar bisa santai dan
diterangi dengan lampu-lampu yang redup serta diiringi dengan latar belakng
musik yang sesuai dengan jiwa bahan pembelajaran yang diberikan.
Suggestopedia
tidak percaya pada penggunaan laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada
latihan-latihan struktural yang ketat. Latihan dalam bentuk tubian yang
mekanistik dipandang tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya,
suggestopedia menekankan pada penyerapan mental dari bahan pembelajaran yang
diterima untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain
di kelas.
Pada
umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang.
Dialog dalam suggestopedia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan
pada kosa kata dan isi, (2) dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau
peristiwa hidup yang riil, (3) harus secara emosional relevan, (4) memiliki
kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai
transkripsi fonetis untuk lafalnya (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64).
2.
Teknik
Pelaksanaan Pengajaran
Teknik
pelaksanaan pengajaran bahasa dengan suggestopedia sangat unik. Untuk kelas
yang intensif, pembelajar bertemu selama empat jam sehari, enam kali seminggu,
untuk jangka waktu satu bulan. Dengan demikian, satu paket pelajaran terdiri
atas 96 jam tatap muka. Untuk menjaga atmosfer kelas agar sesuai dengan kondisi
yang diinginkan, maka jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih
baik jika terdiri atas 6 pria dan 6 wanita.
Menurut
Richards dan Rodgers (1993:150-151; baca juga Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64-65;
Henry Guntur Tarigan, 1988: 262-263), kegiatan pengajaran bahasa dengan
suggestopedia terdiri atas tiga bagian, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.
Pertama, diadakan
tinjauan kembali atau
mengulang bahan pelajaran
hari
sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk
percakapan, permainan, sketsa, cerita lucu, dan akting. Bila siswa membuat
kesalahan, ia dibetulkan tetapi dengan nada yang mendorong ke arah positif.
Pada bagian ini, praktik yang mekanistik harus dihindari.
b.
Kedua, bahan
baru disajikan dalam
konteks melalui dialog-dialog
panjang
dan caranya tidak jauh berbeda
dengan cara yang tradisional: bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan
keterangan kata-kata baru dan tata bahasa. Dialog yang dipergunakan sebagai
bahan pelajaran harus relevan, riil, menarik, dan dipergunakan sesuai dengan
isinya.
c. Ketiga
adalah bagian yang disebut séance. Séance adalah pertemuan perkuliahan
yang tujuannya ialah untuk reinforcement bahan baru pada taraf bawah
sadar. Pada tatap muka ini siswa duduk-duduk dan menyantaikan diri mereka
dengan postur duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan séance terdiri
dari dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini berlangsung selama
satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan
dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk menarik napas, 4 detik
kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses ini
diulang-ulang selama sekitar 25 menit. Pada dua detik tarikan napas, guru
menyajikan bahan dalam bentuk bahasa pertama untuk memberikan siswa kesempatan mengerti apa yang akan disajikan
dalam bahasa kedua. Pada detik ketiga sampai keenam, siswa menahan napas dan
guru menyajikan bahan dalam bahasa kedua. Pada saat ini siswa boleh melihat
buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang disajikan. Pengulangan
mental yang merupakan bagian dari inner speech ini oleh para ahli ilmu
jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat untuk mmengembangkan hypermnesia.
Pada dua detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan istirahat
pernapasan untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dan sebagainya.
Bagian yang pasif dari séance selanjutnya, yang sering juga disebut
bagian konser, berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada bagian ini siswa
mendengarkan suatu macam musik gaya baroque, yakni bentuk musik yang
berasal dari abad ke-17 yang penuh dengan ornamentasi dan improvisasi,
efek-efek yang kontrastif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para
siswa menutup mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini
berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para
siswa dari meditasi mereka masing-masing.
Apabila
prosedur tersebut dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang kondusif, metode
suggestopedia akan dapat memberikan hasil yang luar biasa. Dalam hal retensi
kosa kata untuk bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia, rata-rata
retensinya mencapai 93,16%. Bahkan setelah diselingi waktu sampai hampir tiga
tahun pun retensi kosa kata masih sempurna.
Para
penganut Lozanov menghasilkan angka yang berbeda-beda. Dalam percobaannya
dengan kata-kata bahasa Spanyol, Bordon dan Schuster menyatakan suggestopedia
memberikan hasil 2,5 kali lebih baik daripada metode yang lain. Guru-guru di
Iowa sedikit lebih baik, yakni mereka memerlukan hanya sepertiga dari waktu
yang diperlukan oleh metode lain. Klaim tertinggi dinyatakan oleh Ostrander dan
Schruder yang menyatakan bahywa suggestopedia bisa menghasilkan sampai 50 kali
lebih baik daripada metode lain (Bancroft dalam Soenjono Dardjowidjojo,
1996:66).
Di samping
keberhasilan seperti yang diuraikan di atas, suggestopedia juga memiliki
beberapa kelemahan. Omaggio (1986:85) menyatakan bahwa kelemahan metode ini
terletak pada bahan masukan secara pedagogis dipersiapkan terlalu eksklusif dan
aspek pemahaman membaca dan menyimak terlalu terbatas. Selain itu, Steinberg
(1986:193) mengemukakan bahwa suggestopedia hanya cocok untuk kelas-kelas yang
kecil dan belum ada ketentuan dan persiapan bagi tingkat-tingkat menengah dan
lanjutan.
Soenjono
Dardjowidjojo (1996:66) memberikan kritik yang realistis terhadap
penerapan suggestopedia. Menurutnya,
apabila metode ini diterapkan di Indonesia maka akan terjadi pertentangan
antara prinsip dasar suggestopedia dengan realitas yang dihadapi para guru di
sekolah. Sebagai guru bahasa di sekolah, mereka harus mengikuti suatu sistem
kurikulum yang berlaku, dan sudah barang
tentu sekolah tidak mungkin menyediakan ruang yang besar untuk gerakan fisik
siswa atau pun ruangan yang nyaman dengan musik klasik, dekorasi ruang yang
cerah, dan persyaratan penciptaan kondisi suggestopedia lainnya.
C.
Suggestopedia: Pendekatan Pengajaran Bahasa yang
Bersifat Humanistik
Sebelum
lahirnya pendekatan-pendekatan mutakhir dalam pengajaran bahasa, pengajaran
bahasa didominasi oleh pandangan yang menyatakan bahwa guru adalah pemilik
ilmu, sedangkan siswa selalu menjadi objek belaka. Pandangan ini bertahan
sampai tahun 1960-an. Ketika Chomsky melahirkan teori-teorinya yang lebih
modern, yang pada intinya menganggap bahwa belajar bahasa adalah proses
pembentukan kaidah dan yang lebih menekankan pada peranan siswa, dominasi
teori-teori lama itu mulai dipertanyakan.
Menurut
teori belajar bahasa modern, siswa tidak lagi dipandang sebagai peniru masukan
bahasa yang sangat terkendali, tetapi merupakan pelaku aktif dalam proses
kreatif belajar bahasa. Sebaliknya guru tidak merupakan satu-satunya pemberi
informasi dan sumber belajar, tetapi ia juga penerima informasi (information
receiver) dan moderator. Kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dianggap
sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi serta tidak dapat dihindari.
Menurut
Stevick (dalam Muljanto Sumardi, 1996:20), pendekatan pengajaran bahasa yang
mengutamakan peranan siswa dan berorientasi pada kebutuhan siswa disebut
pendekatan yang bersifat humanistik. Menurut pendekatan ini, bahasa harus
dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan peserta didik secara utuh bukan
sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Seperti halnya guru,
siswa adalah manusia yang mempunyai kebutuhan emosional spiritual, maupun
intelektual. Siswa hendaknya dapat membantu dirinya dalam proses belajar
mengajar. Siswa bukan sekedar penerima ilmu yang pasif.
Menurut
Stevick, pengajaran bahasa dianggap tidak bersifat humanistik apabila siswa
belajar hanya karena tradisi atau karena kemauan orang lain, atau apabila
proses belajar mengajar dikuasai sepenuhnya oleh guru. Tidak ada komunikasi
antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa yang lain. Siswa datang ke
sekolah dengan rasa tegang, takut membuat kesalahan, atau takut akan disalahkan
guru.
Dalam
pendekatan yang bersifat humanistik ini peranan guru minim. Dengan kata lain,
jika siswa harus berkomunikasi maka guru harus melepaskan peranannya sebagai
orang yang memberi ilmu dan bertindak sebagai penerima informasi. Siswa disuruh
memberanikan diri untuk tidak takut membuat kesalahan, dan kesalahan harus
diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tak dapat dielakkan. Guru akhirnya
berfungsi sebagai pengelola kelas dan pembimbing untuk menolong siswa
menyampaikan apa yang datang dari dalam dirinya sendiri, bukan yang datang dari
guru. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat membuat kriteria-kriteria sendiri
tentang bentuk-bentuk bahasa mana yang sesuai untuk mengungkapkan
pikiran-pikiran dalam bahasa asing yang sedang dipelajarinya.
Di samping
berorientasi pada siswa, dimensi kedua yang menjadi ciri pendekatan yang
bersifat humanistik adalah adanya “the balance of power” dalam kelas,
yaitu derajat kebebasan, otonomi tanggung jawab dan kreativitas yang menjadi
bagian siswa.
Sejalan
dengan pendapat Stevick, Wiga Rivers (dalam Muljanto Sumardi, 1996:23)
mengemukakan mengenai beberapa ciri pendekatan yang bersifat humanistik, yaitu:
(1)
Melibatkan
siswa seutuhnya dan memberi peranan lebih besar kepada siswa, induktif
pendekatannya dan non korektif. Yang terakhir ini artinya bahwa membuat
kesalahan dalam proses belajar itu wajar dan koreksi itu dilakukan kemudian.
Siswa diberi cukup waktu untuk melakukan koreksi. Hal ini tentu saja
dimaksudkan agar siswa tidak merasa tegang dan diburu-buru karena suatu
kesalahan.
(2)
Pendekatan
ini menganjurkan dan menggalakkan situasi komunikatif dan mencoba menciptakan
suasana dan rasa kebersamaan.
Berdasarkan
uraian tersebut dan setelah mengkaji tentang prinsip-prinsip dasar
suggestopedia yang telah diuraikan di depan maka dapat disimpulkan bahwa
suggestopedia termasuk pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat humanistik.
Kesimpulan ini didukung pula oleh
pendapat Lozanow yang menyatakan bahwa
dalam suggestopedia tugas pertama dan tertinggi seorang guru adalah to liberate and encourage the student (membebaskan
dan mendorong siswa) (Muljanto Sumardi, 1996:21-22).
Cara yang
dilakukan untuk mendorong siswa yaitu dengan dessuggestion yang lemah
lembut dan tak langsung. Untuk menumbuhkan learning dan untuk dapat
menggali potensi siswa yang terpendam dilakukan dengan mendasarkan pada 3
prinsip, yaitu: (1) joy and psychorelaxation atau kegembiraan dan
kesantaian secara psikologis, (2) kemampuan memanfaatkan/ reserve powers, yaitu
bagian otak yang oleh kebanyakan siswa tidak dapat dimanfaatkan, dan (3) kerjasama
yang harmonis antara the conscious dan the unconscious.
Menurut
Lozanow, hanya dalam keadaan gembira dan tenang siswa akan dapat menggunakan
potensinya yang terpendam. Banyak guru setuju bahwa rasa takut dan bosan adalah
musuh utama learning. Rasa gembira dan tenang merupakan prasyarat bagi
proses belajar yang efektif dan cepat. Ini berarti bahwa dalam mempelajari
bahasa siswa harus merasa aman, tak terancam, santai, dan juga tertarik pada
pelajaran dan merasa terlibat dalam berbagai kegiatan yang bermakna dalam
bahasa yang dipelajarinya.
III. SIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan, selanjutnya dapat dirumuskan
beberapa simpulan sebagai berikut.
1.
Bahasa
Inggris adalah bahasa kedua (L2) atau bahasa asing pertama yang diajarkan di
sekolah-sekolah formal di Indonesia. Yang dimaksud dengan bahasa kedua (L2)
adalah bahasa yang tidak diperoleh seseorang secara wajar dari kecil. Belajar
bahasa kedua pada umumnya dilakukan secara formal.
2. Dalam pembelajaran bahasa kedua, dikenal salah satu metode/pendekatan
pengajaran bahasa mutakhir yang bersifat humanistik, yaitu pendekatan
suggestopedia. Suggestopedia pertama
kali dikemukakan oleh seorang dokter dan
psikoterapis dari Bulgaria yang bernama Georgi Lozanov. Menurut
pendekatan ini, manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan
memberikan sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka
sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah
diterima dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Suggestopedia
mensyaratkan adanya suasana