Jumat, 28 Juni 2013

SUGGESTOPEDIA



SUGGESTOPEDIA


SUGGESTOPEDIA:
PENDEKATAN PENGAJARAN BAHASA KEDUA
YANG BERSIFAT HUMANISTIK



II.    PEMBAHASAN
A.                            Belajar Bahasa Kedua
Yang dimaksud dengan bahasa kedua adalah bahasa yang tidak diperoleh seseorang secara wajar dari kecil (M.F. Baradja, 1990:21). Pemerolehan bahasa kedua diartikan dengan mengajar dan belajar bahasa asing dan atau bahasa kedua lainnya (Henry Guntur Tarigan, 1988:125). Seperti yang telah dikemukakan di depan, bahasa kedua yang paling utama yang diajarkan di sekolah di Indonesia adalah bahasa Inggris.
Belajar bahasa kedua (bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Jepang, bahasa Mandarin, dan sebagainya) pada umumnya dilakukan secara formal, yaitu di kelas bersama seorang guru dengan menggunakan buku teks tertentu. Menurut Henry Guntur Tarigan (1988: 125-126), terdapat tiga faktor mendasar dalam proses belajar bahasa kedua, yaitu belajar bahasa adalah orang, belajar bahasa adalah orang-orang dalam interaksi dinamis, dan belajar bahasa adalah orang-orang dalam responsi.
Hakikat belajar bahasa kedua tidak sama dengan belajar bahasa pertama. Belajar bahasa pertama berangkat dari “nol” (pembelajar belum menguasai bahasa apa pun) dan perkembangan pemerolehan bahasa ini berjalan seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Proses belajar bahasa kedua, si pembelajar sudah menguasai bahasa pertama dengan baik dan perkembangan pemerolehan bahasa kedua tidak seiring dengan perkembangan fisik dan psikisnya. Pemerolehan bahasa pertama dilakukan secara informal dengan motivasi yang sangat tinggi karena pembelajar sangat memerlukan bahasa pertama ini untuk berkomunikasi dengan orang-orang yang ada di sekitarnya, sedangkan pemerolehan bahasa kedua dikerjakan secara formal dengan motivasi yang tidak terlalu tinggi.
Dalam proses belajar bahasa kedua, terdapat satu teori yang banyak dipakai sebagai acuan oleh para pengajar bahasa, yaitu teori Bialystok. Menurut Bialystok, dalam belajar bahasa kedua terdapat tiga macam ilmu pengetahuan (knowledge) yang bahu membahu dalam proses belajar bahasa kedua, yaitu Input, Knowledge, dan Output. Pembelajar jika ingin berhasil dalam belajar bahasa kedua harus memiliki pengalaman (language exposure) dan ini disebut Input. Kemudian, segala macam informasi dan pengalaman yang diperoleh si pembelajar harus disimpan di suatu tempat yang disebut Knowledge.  Dan akhirnya sampailah pada Output, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengutarakan isi hati (M.F. Baradja, 1990: 23-24; Bialystok, 1980: 46).
Pengalaman kebahasaan secara formal, misalnya belajar bahasa Inggris di kelas, membaca buku teks bahasa Inggris, dan sebagainya, akan memperkaya isi sel yang disebut Implicit Linguistic Knowledge. Pengalaman kebahasaan yang bersifat informal seperti mendengarkan TV, membaca novel bahasa Inggris, berkomunikasi dalam bahasa Inggris, akan memperkaya isi sel sel yang disebut Explicit Linguistic Knowledge. Pengalaman dalam belajar ilmu yang bermacam-macam (geografi, fisika, kedokteran, dan sebagainya) akan memperkaya isi sel yang disebut Other Knowledge. Tiga macam sel ini akan bahu membahu mempermudah pembelajar dalam belajar bahasa kedua.
B.     Suggestopedia
1. Sejarah Perkembangan dan Prinsip-prinsip Dasarnya
Metode ini dirintis pada musim panas tahun 1975 di Bulgaria ketika sekelompok peminat di Institut Penelitian Pedagogy di bawah Georgi Lozanow melakukan penelitian mengenai pengajaran bahasa asing. Pada awal perkembangannya, suggestopedia hanya dicoba di negara-negara Eropa Timur seperti Uni Soviet, Jerman Timur, dan Hongaria (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:62).
Sebagai seorang dokter, psikoterapis, dan ahli fisika, Lozanov percaya bahwa teknik-teknik releksasi (persantaian) dan konsentrasi akan menolong para pembelajar membuka sumber-sumber bawah sadar mereka dan memperoleh serta menguasai jumlah kosa kata yang lebih banyak dan juga struktur-struktur yang lebih mantap daripada yang mungkin pernah mereka pikirkan (Richards dan Rodgers, 1993:142-143). Menurut Lozanow, sebagai landasan yang paling dasar suggestopedia adalah suggestology, yakni suatu konsep yang menyuguhkan suatu pandangan bahwa manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan memberikannya sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan dipertahankan untuk jangka waktu yang lama (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:63).
Ciri-ciri metode ini mencakup suasana sugestif di tempat penerapannya, dengan cahaya yang lemah lembut, musik yang sayup-sayup, dekorasi ruangan yang ceria, tempat duduk yang menyenangkan, dan teknik-teknik dramatik yang dipergunakan oleh guru dalam penyajian bahan pembelajaran. Semua itu secara total bertujuan membuat para pembelajar santai, yang memungkinkan mereka membuka hati untuk belajar bahasa dalam suatu model yang tidak menekan atau membebani para siswa. (Richards dan Rodgers, 1993:142).
Dalam pengajaran bahasa, suasana tenang yang dibutuhkan dicapai dengan berbagai cara, salah satu di antarnya adalah yoga. Pada saat sebelum siswa mulai pelajaran, siswa diminta untuk melakukan yoga yang tujuan utamanya adalah untuk menghimpun kemampuan yang hipermnestik, yaitu suatu kemampuan supermemory yang luar biasa. Di samping perlunya menggali hipermnesia ini, diperlukan pula atmosfer fisik yang mendukung proses belajar mengajar. Atmosfer ini diciptakan  dengan pemilihan ruangan yang kondusif untuk proses pembelajaran. Seperti yang telah disinggung di depan, ruang kelas ini dilengkapi dengan kursi yang enak diduduki dan diatur agar bisa santai dan diterangi dengan lampu-lampu yang redup serta diiringi dengan latar belakng musik yang sesuai dengan jiwa bahan pembelajaran yang diberikan.
Suggestopedia tidak percaya pada penggunaan laboratorium bahasa dan tidak pula percaya pada latihan-latihan struktural yang ketat. Latihan dalam bentuk tubian yang mekanistik dipandang tidak akan mendatangkan hasil yang baik. Sebaliknya, suggestopedia menekankan pada penyerapan mental dari bahan pembelajaran yang diterima untuk kemudian direnungkan, dicamkan, dan dipakai bersama siswa lain di kelas.
Pada umumnya, bahan pelajaran diberikan dalam bentuk dialog yang sangat panjang. Dialog dalam suggestopedia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (1) penekanan pada kosa kata dan isi, (2) dasar pembuatan dialog adalah keadaan atau peristiwa hidup yang riil, (3) harus secara emosional relevan, (4) memiliki kegunaan praktis, dan (5) kata-kata yang baru diberi garis bawah dan disertai transkripsi fonetis untuk lafalnya (Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64).
2.      Teknik Pelaksanaan Pengajaran
Teknik pelaksanaan pengajaran bahasa dengan suggestopedia sangat unik. Untuk kelas yang intensif, pembelajar bertemu selama empat jam sehari, enam kali seminggu, untuk jangka waktu satu bulan. Dengan demikian, satu paket pelajaran terdiri atas 96 jam tatap muka. Untuk menjaga atmosfer kelas agar sesuai dengan kondisi yang diinginkan, maka jumlah siswa yang paling ideal adalah dua belas, lebih baik jika terdiri atas 6 pria dan 6 wanita.
Menurut Richards dan Rodgers (1993:150-151; baca juga Soenjono Dardjowidjojo, 1996:64-65; Henry Guntur Tarigan, 1988: 262-263), kegiatan pengajaran bahasa dengan suggestopedia terdiri atas tiga bagian, yang dapat dijelaskan sebagai berikut.
a.       Pertama,  diadakan  tinjauan  kembali  atau  mengulang  bahan  pelajaran  hari
                      sebelumnya. Ini dilakukan dalam bentuk percakapan, permainan, sketsa, cerita lucu, dan akting. Bila siswa membuat kesalahan, ia dibetulkan tetapi dengan nada yang mendorong ke arah positif. Pada bagian ini, praktik yang mekanistik harus dihindari.
b.      Kedua,  bahan  baru  disajikan  dalam  konteks  melalui dialog-dialog panjang
dan caranya tidak jauh berbeda dengan cara yang tradisional: bahan disajikan dan diperagakan, diikuti dengan keterangan kata-kata baru dan tata bahasa. Dialog yang dipergunakan sebagai bahan pelajaran harus relevan, riil, menarik, dan dipergunakan sesuai dengan isinya.
c. Ketiga adalah bagian yang disebut séance. Séance adalah pertemuan perkuliahan yang tujuannya ialah untuk reinforcement bahan baru pada taraf bawah sadar. Pada tatap muka ini siswa duduk-duduk dan menyantaikan diri mereka dengan postur duduk yang dinamakan Savasana. Kegiatan séance terdiri dari dua macam, yang aktif dan yang pasif, dan kegiatan ini berlangsung selama satu jam. Pada kegiatan aktif, siswa melakukan kontrol terhadap pernapasan dengan ritme sebagai berikut: 2 detik pertama untuk menarik napas, 4 detik kemudian untuk tahan napas, dan 2 detik terakhir untuk istirahat. Proses ini diulang-ulang selama sekitar 25 menit. Pada dua detik tarikan napas, guru menyajikan bahan dalam bentuk bahasa pertama untuk memberikan siswa  kesempatan mengerti apa yang akan disajikan dalam bahasa kedua. Pada detik ketiga sampai keenam, siswa menahan napas dan guru menyajikan bahan dalam bahasa kedua. Pada saat ini siswa boleh melihat buku teks dan mengulang secara mental bahan yang sedang disajikan. Pengulangan mental yang merupakan bagian dari inner speech ini oleh para ahli ilmu jiwa Eropa Timur dianggap sangat bermanfaat untuk mmengembangkan hypermnesia. Pada dua detik terakhir dari siklus pertama ini siswa melakukan istirahat pernapasan untuk selanjutnya mengulangi siklus kedua, ketiga, dan sebagainya. Bagian yang pasif dari séance selanjutnya, yang sering juga disebut bagian konser, berlangsung sekitar 20-25 menit. Pada bagian ini siswa mendengarkan suatu macam musik gaya baroque, yakni bentuk musik yang berasal dari abad ke-17 yang penuh dengan ornamentasi dan improvisasi, efek-efek yang kontrastif seperti tercermin pada karya Bach dan Handel. Para siswa menutup mata dan memeditasikan bahan yang diperdengarkan. Konser ini berakhir dengan bunyi seruling yang cepat dan gembira sehingga tergugahlah para siswa dari meditasi mereka masing-masing.
Apabila prosedur tersebut dilaksanakan dalam situasi dan kondisi yang kondusif, metode suggestopedia akan dapat memberikan hasil yang luar biasa. Dalam hal retensi kosa kata untuk bahasa Jerman, Perancis, Inggris, dan Italia, rata-rata retensinya mencapai 93,16%. Bahkan setelah diselingi waktu sampai hampir tiga tahun pun retensi kosa kata masih sempurna.
Para penganut Lozanov menghasilkan angka yang berbeda-beda. Dalam percobaannya dengan kata-kata bahasa Spanyol, Bordon dan Schuster menyatakan suggestopedia memberikan hasil 2,5 kali lebih baik daripada metode yang lain. Guru-guru di Iowa sedikit lebih baik, yakni mereka memerlukan hanya sepertiga dari waktu yang diperlukan oleh metode lain. Klaim tertinggi dinyatakan oleh Ostrander dan Schruder yang menyatakan bahywa suggestopedia bisa menghasilkan sampai 50 kali lebih baik daripada metode lain (Bancroft dalam Soenjono Dardjowidjojo, 1996:66).
Di samping keberhasilan seperti yang diuraikan di atas, suggestopedia juga memiliki beberapa kelemahan. Omaggio (1986:85) menyatakan bahwa kelemahan metode ini terletak pada bahan masukan secara pedagogis dipersiapkan terlalu eksklusif dan aspek pemahaman membaca dan menyimak terlalu terbatas. Selain itu, Steinberg (1986:193) mengemukakan bahwa suggestopedia hanya cocok untuk kelas-kelas yang kecil dan belum ada ketentuan dan persiapan bagi tingkat-tingkat menengah dan lanjutan.
Soenjono Dardjowidjojo (1996:66) memberikan kritik yang realistis terhadap penerapan  suggestopedia. Menurutnya, apabila metode ini diterapkan di Indonesia maka akan terjadi pertentangan antara prinsip dasar suggestopedia dengan realitas yang dihadapi para guru di sekolah. Sebagai guru bahasa di sekolah, mereka harus mengikuti suatu sistem kurikulum yang berlaku,  dan sudah barang tentu sekolah tidak mungkin menyediakan ruang yang besar untuk gerakan fisik siswa atau pun ruangan yang nyaman dengan musik klasik, dekorasi ruang yang cerah, dan persyaratan penciptaan kondisi suggestopedia lainnya.
C.                            Suggestopedia: Pendekatan Pengajaran Bahasa yang Bersifat Humanistik
Sebelum lahirnya pendekatan-pendekatan mutakhir dalam pengajaran bahasa, pengajaran bahasa didominasi oleh pandangan yang menyatakan bahwa guru adalah pemilik ilmu, sedangkan siswa selalu menjadi objek belaka. Pandangan ini bertahan sampai tahun 1960-an. Ketika Chomsky melahirkan teori-teorinya yang lebih modern, yang pada intinya menganggap bahwa belajar bahasa adalah proses pembentukan kaidah dan yang lebih menekankan pada peranan siswa, dominasi teori-teori lama itu mulai dipertanyakan.
Menurut teori belajar bahasa modern, siswa tidak lagi dipandang sebagai peniru masukan bahasa yang sangat terkendali, tetapi merupakan pelaku aktif dalam proses kreatif belajar bahasa. Sebaliknya guru tidak merupakan satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar, tetapi ia juga penerima informasi (information receiver) dan moderator. Kesalahan-kesalahan yang dibuat siswa dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan manusiawi serta tidak dapat dihindari.
Menurut Stevick (dalam Muljanto Sumardi, 1996:20), pendekatan pengajaran bahasa yang mengutamakan peranan siswa dan berorientasi pada kebutuhan siswa disebut pendekatan yang bersifat humanistik. Menurut pendekatan ini, bahasa harus dilihat sebagai suatu totalitas yang melibatkan peserta didik secara utuh bukan sekedar sebagai sesuatu yang intelektual semata-mata. Seperti halnya guru, siswa adalah manusia yang mempunyai kebutuhan emosional spiritual, maupun intelektual. Siswa hendaknya dapat membantu dirinya dalam proses belajar mengajar. Siswa bukan sekedar penerima ilmu yang pasif.
Menurut Stevick, pengajaran bahasa dianggap tidak bersifat humanistik apabila siswa belajar hanya karena tradisi atau karena kemauan orang lain, atau apabila proses belajar mengajar dikuasai sepenuhnya oleh guru. Tidak ada komunikasi antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa yang lain. Siswa datang ke sekolah dengan rasa tegang, takut membuat kesalahan, atau takut akan disalahkan guru.
Dalam pendekatan yang bersifat humanistik ini peranan guru minim. Dengan kata lain, jika siswa harus berkomunikasi maka guru harus melepaskan peranannya sebagai orang yang memberi ilmu dan bertindak sebagai penerima informasi. Siswa disuruh memberanikan diri untuk tidak takut membuat kesalahan, dan kesalahan harus diterima sebagai sesuatu yang wajar dan tak dapat dielakkan. Guru akhirnya berfungsi sebagai pengelola kelas dan pembimbing untuk menolong siswa menyampaikan apa yang datang dari dalam dirinya sendiri, bukan yang datang dari guru. Dengan demikian, siswa diharapkan dapat membuat kriteria-kriteria sendiri tentang bentuk-bentuk bahasa mana yang sesuai untuk mengungkapkan pikiran-pikiran dalam bahasa asing yang sedang dipelajarinya.
Di samping berorientasi pada siswa, dimensi kedua yang menjadi ciri pendekatan yang bersifat humanistik adalah adanya “the balance of power” dalam kelas, yaitu derajat kebebasan, otonomi tanggung jawab dan kreativitas yang menjadi bagian siswa.   
Sejalan dengan pendapat Stevick, Wiga Rivers (dalam Muljanto Sumardi, 1996:23) mengemukakan mengenai beberapa ciri pendekatan yang bersifat humanistik, yaitu:
(1)   Melibatkan siswa seutuhnya dan memberi peranan lebih besar kepada siswa, induktif pendekatannya dan non korektif. Yang terakhir ini artinya bahwa membuat kesalahan dalam proses belajar itu wajar dan koreksi itu dilakukan kemudian. Siswa diberi cukup waktu untuk melakukan koreksi. Hal ini tentu saja dimaksudkan agar siswa tidak merasa tegang dan diburu-buru karena suatu kesalahan.
(2)   Pendekatan ini menganjurkan dan menggalakkan situasi komunikatif dan mencoba menciptakan suasana dan rasa kebersamaan.
Berdasarkan uraian tersebut dan setelah mengkaji tentang prinsip-prinsip dasar suggestopedia yang telah diuraikan di depan maka dapat disimpulkan bahwa suggestopedia termasuk pendekatan pengajaran bahasa yang bersifat humanistik. Kesimpulan ini didukung  pula oleh pendapat Lozanow yang menyatakan  bahwa dalam suggestopedia tugas pertama dan tertinggi seorang guru adalah  to liberate and encourage the student (membebaskan dan mendorong siswa) (Muljanto Sumardi, 1996:21-22).
Cara yang dilakukan untuk mendorong siswa yaitu dengan dessuggestion yang lemah lembut dan tak langsung. Untuk menumbuhkan learning dan untuk dapat menggali potensi siswa yang terpendam dilakukan dengan mendasarkan pada 3 prinsip, yaitu: (1) joy and psychorelaxation atau kegembiraan dan kesantaian secara psikologis, (2) kemampuan memanfaatkan/ reserve powers, yaitu bagian otak yang oleh kebanyakan siswa tidak dapat dimanfaatkan, dan (3) kerjasama yang harmonis antara the conscious dan the unconscious.
Menurut Lozanow, hanya dalam keadaan gembira dan tenang siswa akan dapat menggunakan potensinya yang terpendam. Banyak guru setuju bahwa rasa takut dan bosan adalah musuh utama learning. Rasa gembira dan tenang merupakan prasyarat bagi proses belajar yang efektif dan cepat. Ini berarti bahwa dalam mempelajari bahasa siswa harus merasa aman, tak terancam, santai, dan juga tertarik pada pelajaran dan merasa terlibat dalam berbagai kegiatan yang bermakna dalam bahasa yang dipelajarinya.

III.  SIMPULAN
Berdasarkan uraian pada bagian pembahasan, selanjutnya dapat dirumuskan beberapa simpulan sebagai berikut.
1.      Bahasa Inggris adalah bahasa kedua (L2) atau bahasa asing pertama yang diajarkan di sekolah-sekolah formal di Indonesia. Yang dimaksud dengan bahasa kedua (L2) adalah bahasa yang tidak diperoleh seseorang secara wajar dari kecil. Belajar bahasa kedua pada umumnya dilakukan secara formal.
2.      Dalam pembelajaran bahasa kedua, dikenal salah satu metode/pendekatan pengajaran bahasa mutakhir yang bersifat humanistik, yaitu pendekatan suggestopedia.  Suggestopedia pertama kali dikemukakan oleh seorang dokter dan  psikoterapis dari Bulgaria yang bernama Georgi Lozanov. Menurut pendekatan ini, manusia bisa diarahkan untuk melakukan sesuatu dengan memberikan sugesti. Pikiran harus dibuat setenang mungkin, santai, dan terbuka sehingga bahan-bahan yang merangsang saraf penerimaan bisa dengan mudah diterima dan dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. Suggestopedia mensyaratkan adanya suasana

Silent Way



Silent Way
Silent Way
METODE DIAM
a. Konsep dasar sailent way
Sailent way (metode guru diam/ al- thariqah al- shamitah) dicetuskan oleh caleb Gategno (1972), seorang ahli pengajaran bahasa yang menerapkan prinsip-prinsip kognitivesme dan ilmu filsafat dalam pengajaranya. Ia mencermati konsep filsafat stevick (1979) yang di jadikanya sebagai ide dasar untuk memunculkan metode ini antara lain ;
a. Diri (the self) seseorang sama dengan tenaga yang bekerja dalam tubuhnya melalui panca indra, dan bertujuan untuk mengatur masukan-masukan dari luar. Diri itu kemudian membuang sesuatu yang di anggap tidak berguna dan menyimpan sesuatu yang di anggap merupakan bagian dari dirinya.
b. Diri seseorang itu mulai bekerja pada waktu manusia di ciptakan dalam kandungan. Sumber awal tenaga itu adalah DNA (deoxyribonucleic acid) yang merupakan dasar molekul keturunan dalam organisme-organisme manusia sehigga diri dapat mengelolah masukan-masukan dari luar, di samping itu diri menambahkan tenaga untuk menampung masukan-masukan selanjutnya.

Inilah secara umum pandangan gategno, yang mengamati hal-hal yang terjadi pada manusia secara berulang-ulang, untuk mengembangkan metode guru diam.
Selanjutnya ia melihat bahwah belajar pada hakekatnya melibatkan dua langkah;
a. Belajar adalah pekerjaan yang di sengaja dilakukan dengan sadar dan diperintah oleh kemauan yang keras (will). Hal ini di atur oleh otak yang menghasilkan aktivitas mental.
b. Belajar adalah proses mengasimilasikan hasil-hasil aktivitas mental melalui pembentukan gambaran batin (image) yang baru atau perubahan gambaran batin yang lama
Dinamakan metode guru diam karena guru lebih banyak diamnya dari pada berbicara saat proses belajar mengajar berlangsung. Namun sebenarnya tidak hanya guru yang diam, pelajarpun memiliki saat-saat diam untuk tujuan tertentu. Menurut Arsyad (2004;28) guru di mintak diam di dalam metode ini sekitar 90% dari alokasi waktu yang di pakai, tetapi ada juga saat-saat tertentu bagi pelajar untuk diam tidak membaca, tidak menghayal, tidak juga menonton video, melainkan berkonsentrasi pada bahasa asing yang baru saja di dengar. Keunikan lainya adalah penggunaan alat peraga berupa balok/tonkat kayu yang biasa disebut Cuisenaire rods, begitu juga isyarat jika diperlukan. Alat peraga ini digunakan selain sebagai media untuk mengajarkan konstruksi-konstruksi kalimat, juga untuk memperkuat konsentrasi para pelajar saat materi di sajikan. Satu materi biasanya diberikan satu kali, tudak di ulangi. Begitu materi di berikan konsentrasi di perkuat karna pelajar menyadari bahwakh tidak di ulangi. Prinsip yang di pegang adalah adanya aspek terhadap kemampuan pelajar untuk mengajarkan masalah-masalah bahasa serta kemampuan untuk mengingat informasi tanpa adanya verbilisasi dan bantuan dari guru.
Materi yang bdigunakan dalam metode guru diam ini berdasarkan struktur bahasa. Bahsa di pandang sebagai kelompok-kelompok bunyi yang di hubungkan dengan makna-makna tertentu. Dan diatur menjadi kalimat-kalimat melalui aturan-aturan bahasa. Pelajaran di sajikan secara bertahap dari unsure yang mudah ke yang sukar, sedangakan materi kosa kata dan struktur kalimat di sajikan sedikit emi sedikit sehingga menjadi unit-unit yang kecil. Unit belajar bahasa dalam metode ini adalah kalimat. Guru dalam hal ini mangajarkan satu makna dari suatu kalimat tanpa menyebutkan makna-makna lain yang mungkin terdapat dalam komunikasi sehari hari yang wajar. Para pelajar di berikan pola-pola kalimat bahasa asing dan di berikan aturan-aturan bahasa melalui proses induktif. Sebaliknya juga kosa kata mendapat tempat yang penting.
Metode guru diam memiliki tujuan pokok sebagai berikut ;
a. Melatih keterampilan para pelajar dalam menggunakan bahasa asing yang di pelajari secara lisan sehinngah mampu mencapai kelancaran berbahasa yang hampir sama dengan penutur asli.
b. Melatih keterampilan para pelajar dalam menyimak pembicaraan lawan bicara. Menyimak di pandang sebagai unsure yang cukup sulit apalagi jika bahasa itu di bawahkan oleh penutur aslih, jadi sebaikya cermat dalam menyimak.
c. Melatih pelajar agar mampu mengusai tata bahasa yang praktis. Tata bahasa diberikan dengan bertahap dengan proses induktif, dan tidak terlalu menonjolkan konsep secara verbal.
I. Langkah-langkah penggunaan silent way
Langkah-langkah yang bias di ambil oleh guru dalam menggunakan metode ini secara garis besarnya antara lain ;
a. Pendahuluan. Guru menyediakan alat peraga berupa; (a) papan peraga yang bertulisakan materi (fidel chart). Papan ini berisi ejajan dari semua suku kata dalam bahasa asing yang di pelajari. (b) tongkat/balok kayu (cuisenenaire rods). Tonkat yang biasanya berjumlah sepuluh dengan warna yang berbeda-beda yang nantinya di gunakan sebagai alat peraga dalam membentuk kalimat lengkap.
b. Guru menyajikan satu butir bahasa yang di pahami, penyajianya hanya satu kali saja. Dengan demikian ia memaksa para pelajar untuk menyimakdengan baik. Pada permulaan, guru pun tidak mengatakan apa-apa, tetapi hanya menunjukkan pada symbol-simbol yang tertera di papan peraga. Pelajar mengucapkan symbol yang di tunjuk guru dengan melafal dengan keras, mula-mula secara serentak. Kemudian atas petunjuk guru, satu persatu pelajar melafalkanya. Langkah ini adalah tahap permulaan.
c. Sesudah pelajar mampu mengucapkan bunyi-bunyi dalam bahasa asing yang di pelajari, guru menyajikan papan peraga yang kedua yang berisi kosa kata yang terpilih, kosa kata ini di ambil dari kalimat-kalimat yang paling sering di gunakan dalam komunikasi sehari-hari. Kosa kata ini sangat berguna bagi para pelajar dalam menyusun sebuah kalimat secara mandiri, langkah ini juga masih tahap permulaan.

Dengan demikian para pelajar akan terangsang untuk membuat kalimat lengkap secara lisan dengan kata-kata yang telah mereka kuasai sebelumnya. Dalam hal ini penggunaan isyarat yang palinng benar cukup penting sebagai pengganti penjelasan verbal.
e. Sebagai penutup, guru bias mengadakan pengetesan keberhasilan pelajar dalam penguasaan kosa kata yang telah di ajarkan dengan mengunakan perintah-perintah yang sedapat mungkin tidak secara verbal seperti halnya pada poin nomor 4 di atas. Dalam pengetesan ini tentu harus memperhatiakn waktu yang tersedia, tidak mungkin dengan keterbatasan waktu pengetesan dapat di berikan ke seluruh pelajar.
II. Kelebihan dan kekurangan silent way
Sebagaimana metode- metode lain silent way juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Di antara kelebihanya adalah;
a. Tugas-tugas dan aktivitas-aktivitas dalam metode ini berfungsi untuk mendorong serta membentuk respon pelajar. Maka dalam hal ini kelas menjadi aktif.
b. Mendidik untuk berkonsentrasi terhap materi pelajaran juga para pelajar di tuntut untuk selslu berusaha sendiri dalam belajar.
c. Karena tidak ada pembetulan kalau ada kesalahan yang dilakukan oleh pelajar, dan tidak ada keterangan mak pelajar di dorong untuk membuat analogi-analogi sendiri dengan cara membuat kesimpulan dan rumusan aturan atuaran sendiri. Ini melatih mereka dalam membuat kesimpulan dan keputusan secara cepat.
Di antara kekuranganya adalah ;
a. Silent way memberikan kebebasan kepada pelajar untuk menentukan pilihan-pilihan dalam situasi-situasi yang di sajikan. Cara ini terkesan bahwah pelajar dapat menguasai situasi belajar, namun dalm kenyataanya guru yang masih berperan aktif dalam proses belajar mengajar (teacher-centered).
b. Jika di telaah secara seksama, silent way di gunakan untuk pelajar tingkat pemula yang hanya di berikan materi-materi pelafalan suku kata dan membuat konstruksi kalimat-kalimat sederhanaya. Sedangkan membaca dan mengarang nampaknya akan sulit di ajarkan demgan metode ini.
c. Sebagaimana di jelaskan dalam konsep sailent way bertujuan membimbing para pelajar agar mencapai kelancaran berbahasa yang hampir sama dengan penutur asli, maka mereka di tuntut untuk menguasai lafal yang benar, intonasi, irama, dan jeda dalam berbicara dengan bahasa asing yang dipelajari, proses belajar mengajar yang di gariskan oleh metode ini nampaknya tidak meberi jaminan untuk mencapai tujuan tersebut.
d. Pada dasarnya sailent way pada akhirnya cenerung memiliki banyak kesamaaan dengan audiolingual, sebab bagaimanapun pelajar yang di beri materi satu kali akan sangat membutuhkan pengulangan, apalagi mereka yang baru mengenal bahasa asing yang sedang dipelajari.

Project Based Learning



Project Based Learning

Desain Penulis: Deskripsi Model PBL / Pembelajaran Berbasis Proyek

Berdasarkan kegiatan pengajar dan pelajar dalam pendekatan PBL, maka PBL yang akan dibuat di dalam lingkungan web terbagi dalam tiga tahapan yakni persiapan, pembelajaran dan evaluasi, tetapi dari tiga tahapan tersebut dapat dideskripsikan menjadi enam tahapan sebagai berikut.
a.Persiapan
Pengajar merancang desain atau membuat kerangka proyek yang bermanfaat dalam menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pelajar dalam mengembangkan pemikiran terhadap proyek tersebut sesuai dengan kerangka yang ada, dan menyediakan sumber yang dapat membantu pengerjaannya. Hal ini akan mendukung keberhasilan pelajar dalam menyelesaikan suatu proyek dan cukup membantu dalam menjawab pertanyaan, beraktifitas dan berkarya. Kerangka menjadi sesuatu yang penting untuk dibaca dan digunakan oleh pelajar. Oleh karenanya, pengajar harus melakukan perannya dengan baik dalam menganalisa dan mengintegrasikan kurikulum, mengumpulkan pertanyaan, mencari web site atau sumber yang dapat membantu pelajar dalam menyelesaikan proyek, dan menyimpannya di dalam web.
b.Penugasan/menentukan topik.
Sesuai dengan tugas proyek yang diberikan oleh pengajar maupun pilihan sendiri, pelajar akan memperoleh dan membaca kerangka proyek, lalu berupaya mencari sumber yang dapat membantu. Dengan berdasar pada referensi alamat web yang berisi materi relevan, pelajar dengan cepat dan langsung mendapatkan materi yang berkualitas yang sesuai dengan kebutuhan proyek. Lalu pelajar berupaya berpikir dengan kemampuannya berdasar pada pengalaman yang dimiliki, membuat pemetaan topik, dan mengembangkan gagasannya dalam menentukan sub topik suatu proyek.
Description: http://yudipurnawan.files.wordpress.com/2008/04/konseppbl.jpg?w=275&h=300
Gambar Blok diagram tahapan dalam PBL.
c.Merencanakan kegiatan.
Pelajar bekerja dalam proyek individual, kelompok dalam satu kelas atau antar kelas. Pelajar menentukan kegiatan dan langkah yang akan diambil sesuai dengan sub topiknya, merencanakan waktu pengerjaan dari semua sub topik dan menyimpannya di dalam web. Jika bekerja dalam kelompok, tiap anggota harus mengikuti aturan dan memiliki rasa tanggungjawab. Sedangkan pengajar berkewajiban menyampaikan isi dari rencana proyeknya kepada orang tua, sehingga orang tua dapat ikut serta membantu dan mendukung anaknya dalam menyelesaikan proyek.
d.Investigasi dan penyajian.
Investigasi disini termasuk kegiatan : menanyakan pada ahlinya melalui e-mail, memeriksa web site, dan saling tukar pengalaman dan pengetahuan serta melakukan survei melalui web. Dalam perkembangannya, terkadang berisi observasi, eksperimen, dan field trips. Diskusi dapat dilakukan secara sinkron dan asinkron melalui chating. Lalu penyajian hasil dapat berupa gambar, tulisan, diagram matematika, pemetaan dan lain-lain. Secara rutin, orang tua dan pengajar berkomunikasi untuk memantau kegiatan dan prestasi yang dicapai oleh pelajar.
e.Finishing.
Pelajar membuat laporan, presentasi, halaman web, gambar, dan lain-lain. Sebagai hasil dari kegiatannya. Lalu pengajar dan pelajar membuat catatan terhadap proyek untuk pengembangan selanjutnya. Peserta menerima feedback atas apa yang dibuatnya dari kelompok, teman, dan pengajar. Fasilitas feedback online disajikan untuk memungkinkan setiap individu secara langsung berkomentar dan memberikan kontribusi, dan agar dilihat dan bermanfaat bagi orang lain.
f.Monitoring/Evaluasi.
Pengajar menilai semua proses pengerjaan proyek yang dilakukan oleh tiap pelajar berdasar pada partisipasi dan produktifitasnya dalam pengerjaan proyek.
Aktifitas para pengajar dan para pelajar bertukar-tukar tergantung pada derajat tingkat kendali yang diberikan kepada para pelajar dalam kedua dimensi. B. Peran Pengajar dalam PBLSelama berlangsungnya proses belajar dalam PBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan.a. Narasumber§ Menyusun trigger Sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak atau elektronik.§ Melakukan evaluasi hasil pembelajaran. b. FasilitatorSecara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok. Secara lebih rinci peran fasilitator adalah sebagai berikut.
  • Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
  • Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
  • Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
  • Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
  • Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
  • Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat.
  • Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
  • Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dan lain-lain.
  • Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
  • Mengevaluasi penerapan PBL yang telah dilakukan.


Perbedaan Kelas PBL dengan Lingkungan Kelas Tradisional

Di dalam kelas tradisional pelajar dikondisikan untuk mendengarkan, menghafal dan belajar termasuk mengajukan pertanyaan. Menghafalkan fakta dan informasi sebenarnya bukan cara untuk belajar tetapi ini biasa dilakukan di suatu kelas tradisional. Sehingga lebih penting mengetahui bagaimana cara memproses informasi dibanding hanya mengetahui fakta yang nyata. Tabel 3.1 Perbedaan kelas PBL dengan Lingkungan Kelas Tradisional[10].
Tradisional
Kurikulum
- Mengacu pada kurikulum yang baku
- Cakupan materi yang lebar
- Menghafal materi tanpa berpikir fakta
Kelas
- Pengajaran dilakukan dengan penempatan pelajar pada tempat duduk yang rapih dan kaku dalam format baris dan kolom.
- Berupaya merangkul semua orang bersama-sama, belajar di langkah dan bobot yang sama
- Berusaha secara individu untuk mencapai target
Pengajar
- Pengajar sebagai pemberi ceramah/ narasumber dan tenaga ahli.
Pelajar
- Bergantung kepada pengajar dalam menyelesaikan intruksi
Teknologi
- Memberikan reward bagi yang menyelesaikan tugas dan sebaliknya memberikan hukuman bagi yang tidak menguasai konsep
Project-based Learning (Pembelajaran Berbasis Proyek)

Kurikulum
-Jangka panjang, interdisciplinary, pelajar sebagai pusat perhatian dalam menyimak isu dunia nyata yang menarik perhatian pelajar
-Adanya investigasi dan riset yang mendalam
-Mahami proses, mendorong kemampuan berpikir kritis dan menghasilkan penemuan
Kelas
-Pelajar duduk secara fleksibel, santai dan berkolaborasi di dalam tim.
-Petunjuk pembelajaran fleksibel, banyak perbedaan tingkat dan topik yang dipelajari oleh tiap pelajar
-mendorong pelajar bekerja dalam tim yang heterogen untuk mencapai target
Pengajar
-Pengajar sebagai fasilitator dan menyediakan sumber daya
Pelajar
-bertanggung jawab atas diri sendiri, menggambarkan tugasnya sendiri dan bekerja sebagai anggota suatu tim untuk waktu tertentu dengan suatu target
-Pengajar berfungsi sebagai pemandu
Teknologi
-menggunakan alat yang terintegrasi dalam semua aspek kelas, seperti dalam pemecahan masalah, komunikasi, meneliti hasil, dan mengumpulkan informasi.
Di dalam kelas PBL gaya kelas juga berubah. Lingkungan kelas tidak lagi diatur oleh pelajaran yang kaku, tetapi dikuasai oleh pelajaran yang saling behubungan dan membantu para pelajar mengembangkan keterampilannya sesuai tujuan pembelajaran, kemudian mengijinkan pelajar menggunakan keterampilan itu untuk memecahkan masalah. PBL dapat terintegrasi ke dalam kelas dari semua pokok pembelajaran.